Senin, 09 Maret 2009

Randai


Randai dalam sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang lumayan panjang. Konon kabarnya ia sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan Padang Panjang ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Randai dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu, dimana dalam randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Randai ini bertujuan untuk menghibur masyarakat biasanya diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul Fitri.

Randai ini dimainkan oleh pemeran utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini bisa berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan berlansungnya acara tersebut.

Sekarang randai ini merupakan sesuatu yang asing bagi pemuda-pemudi Minangkabau, hal ini dikarenakan bergesernya orientasi kesenian atau kegemaran dari generasi tersebut. Randai terdapat di Pasisir dan daerah Darek (daratan).

Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang (tari) yang bersumber dari gerakan-gerakan silat Minangkabau. namun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara, seperti kelompok Dardanela.Jadi, Randai pada awalnya adalah media untuk menyampaikan cerita-cerita rakyat, dan kurang tepat jika Randai disebut sebagai Teater tradisi Minangkabau walaupun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya bercerita atau dialog teater atau sandiwara.

Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau.

prinsipnya sebagai salah kebusilat-minang.jpgdayaan

khas yang diwariskan oleh nenek moyang Minangkabau sejak berada di bumi Minangkabau.

Bila dikaji dengan seksama isi Tambo Alam Minangkabau yang penuh berisikan kiasan berupa pepatah,petitih ataupun mamang adat, ternyata Silat Minang telah memiliki dan dikembangkan oleh salah seorang penasehat Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama “Datuk Suri Diraja” ; dipanggilkan dengan “Ninik Datuk Suri Diraja” oleh anak-cucu sekarang.

Sultan Sri Maharaja Diraja, seorang raja di Kerajaan Pahariyangan ( dialek: Pariangan ) . sebuah negeri (baca: nagari) yang pertama dibangun di kaki gunung Merapi bahagian Tenggara pad abad XII ( tahun 1119 M ).

Sedangkan Ninik Datuk Suri Diraja , seorang tua yang banyak dan dalam ilmunya di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan juga sebagai seorang ahli filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu, serta pertama kalinya membangun dasar-dasar adat Minangkabau; yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo, dikenal dengan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam kesenian dan alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan dari gerak-gerak silat serta membuat talempong, gong, gendang, serunai, harbah, kecapi, dll ( I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18)

Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan orang mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga uraian Drs.MID.Jamal dalam bukunya : “Menyigi Tambo Alam Minangkabau” (Studi perbandingan sejarah) halaman 10.

Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah seorang Cendekiawan yang dikatakan “lubuk akal, lautan budi” , tempat orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan Sri Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22).

Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara berpakaian, seperti bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan tangan serta berhias, bergombak satu,empat, dsb.

Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar (Minang: “Mamak Runah”) dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149 ), karena adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja Minangkabau tsb. Oleh karena itu pula “Mamak kandung” dari Datuk Nan Baduo.

Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima warisan ilmu silat sebahagian besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari berbagai kawasan yang berada di sekitar Tanah Basa (= Tanah Asal) , yaitu di sekitar lembah Indus dahulunya.

Mereka merupakan keturunan dari pengawal-pengawal nenek moyang yang mula-mula sekali menjejakkan kaki di kaki gunung Merapi. Nenek moyang yang pertama itu bernama “DAPUNTA HYANG”. ( Mid.Jamal, 1984:35).

Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina (Siam); Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa, terambil dari kawasan Campa ; Kambieng Utan , seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kamboja, dan Anjieng Mualim, seorang pengawal yang datang dari Persia/Gujarat.

Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah ada sejak nenek moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar gunung Merapi di zaman purba; sekurang-kurangnya dalam abad pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu di Sumatera Barat.

Pemberitaan tentang kehadiran nenek moyang (Dapunta Hyang) dimaksud telah dipublikasikan dalam prasasti “Kedukan Bukit” tahun 683 M, yang dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan balatentaranya dari gunung Merapi melalui Muara Kampar atau Minang Tamwan ke Pulau Punjung / Sungai Dareh untuk mendirikan sebuah kerajaan yang memenuhi niat perjalanan suci missi. dimaksud untuk menyebarkan agama Budha. Di dalam perjalanan suci yang ditulis/ dikatakan dalam bahasa Melayu Kuno pada prasasti tsb dengan perkataan : ” Manalap Sidhayatra” (Bakar Hatta,1983:20), terkandung juga niat memenuhi persyaratan mendirikan kerajaan dengan memperhitungkan faktor-faktor strategi militer, politik dan ekonomi. Kedudukan kerajaan itupun tidak bertentangan dengan kehendak kepercayaan/agama, karena di tepi Batanghari ditenukan sebuah tempat yang memenuhi persyaratan pula untuk memuja atau mengadakan persembahan kepada para dewata. Tempat itu, sebuah pulau yang dialiri sungai besar, yang merupakan dua pertemuan yang dapat pula dinamakan “Minanga Tamwan” atau “Minanga Kabwa”.

Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap ke Gunung Merapi (pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan Pulau Punjung (asal kata: pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan yang didirikan itu disebut dengan kerajaan Mianga Kabwa dibaca: Minangkabaw.
Asal usul Silat Minangkabau

Minangkabau secara resmi sebagai sebuah kerajaan pertama dinyatakan terbentuknya dan berkedudukan di Pariangan, yakni di lereng Tenggara gunung Merapi.

Di Pariangan itulah dibentuk dan berkembangnya kepribadian suku Minangkabau. Pada hakikatnya kebudayaan Minangkabau bertumbuhnya di Pariangan; bukan di Pulau Punjung dan bukan pula di daerah sekitar sungai Kampar Kiri dan Kampar kanan.

Bila orang mengatakan Tambo Minangkabau itu isinya dongeng itu adalah hak mereka, meski kita tidak sependapat. Suatu dongeng, merupakan cerita-cerita kosong. akan tetapi jika dikatakan Tambo Minangkabau itu Mitologis, hal itu sangat beralasan, karena masih berada dalam lingkungan ilmu, yaitu terdapatnya kata “Logy”. Hanya saja pembuktian mitology berdasarkan keyakinan, yang dapat dipahami oleh mereka yang ahli pula dalam bidang ilmu tersebut. Ilmu tentang mitos memang dewasa ini sudah ditinggalkan, karena banyak obyeknya bukan material; melainkan “SPIRITUAL”. walaupun demikian, setiap orang tentu mempunyai alat ukur dan penilai suatu “kebenaran” , sesuai dengan keyakinan masing-masing. Apakah sesuatu yang dimilikinya ditetapkan secara obyektif, misalnya ilmu sejarah dengan segala benda-benda sebagai bukti yang obyektif dan benar; sudah barang tentu pula mitologi juga mempunyai bukti-bukti yang obyektif bagi yang mampu melihatnya. Bukti-bukti sejarah dapat diamati oleh mata lahir, sedangkan mitologi dapat diawasi oleh mata batin. Contoh: Pelangi dapat dilihat oleh mata lahir, sedangkan sinar aureel hanya bisa dilihat oleh mata batin. demikian juga bakteri yang sekecil-kecilnya dapat dilihat oleh mata lahir melalui mikroskop, akan tetapi “teluh” tidak dapat dilihat sekalipun dengan mikroskop; hanya dapat dilihat oleh mata batin melalui “makrifat”.

Karenanya mengukur dan menilai Tambo tidak akan pernah ditimbang dengan ilmu sejarah dan tak akan pula pernah tercapai. Justeru karena itu mengukur Tambo dan sekaligus menilainya hanya dengan alat yang tersendiri pula, yaitu dengan keyakinan yang berdasarkan kenyataan yang tidak dapat didustakan oleh setiap pendukung kebudayaan Minangkabau.

Dalam hubungan ini diyakini, bahwa para pengawal kerajaan sebagaimana halnya raja itu sendiri, yang kehadirannya sebagai keturunan dari keluarga istana kerajaan Minangkabau di Pulau Punjung/Sungai Dareh. Kedatangan mereka ke Pariangan setelah kerajaan itu mengalami perpecahan, yaitu terjadinya revolusi istana dengan terbunuhnya nenek moyang mereka, bernama Raja Indrawarman tahun 730 M, karena campur tangan politik Cina T`ang yang menganut agama Budha. Raja Indrawarman yang menggantikan ayahanda Sri Maharaja Lokita Warman (718 M) “sudah menganut agama Islam”. Dan hal itu menyebabkan Cina T`ang merasa dirugikan oleh “hubungan Raja Minangkabau dengan Bani Umayyah” (MID.Jamal, 1984:60-61). Karena itu keturunan para pengawal kerajaan Minangkabau dari Pariangan tidak lagi secara murni mewarisi silat yang terbawa dari sumber asal semula, akan tetapi merupakan kepandaian pusaka turun temurun. Ilmu silat itu sudah mengalami adaptasi mutlak dengan lingkungan alam Minangkabau. Apalagi sebahagian besar pengaruh ajaran Ninik Datuk Suri Diraja yang mengajarkan silat kepada keturunan para pengawal tersebut mengakibatkan timbulnya perpaduan antara silat-silat pusaka yang mereka terima dari nene moyang masing-masing dengan ilmu silat ciptaan Ninik Datuk Suri Dirajo. Dengan perkataan lain, meskipun setiap pengawal , misalnya “Kucieng Siam” memiliki ilmu silat Siam yang diterima sebagai warisan, setelah kemudian mempelajari ilmu silat Ninik Datuk Suri Diraja. maka akhirnya ilmu silat Kucieng Siam berbentuk paduan atau merupakan hasil pengolahan silat, yang bentuknyapun jadi baru. Begitu pula bagi diri pengawal-pengawal lain; semuanya merupakan hasil ajaran Ninik Datuk Suri Diraja.

Ninik Datuk Suri Diraja telah memformulasi dan menyeragamkan ilmu silat yang berisikan sistem, metode dll bagi silat Minang, yaitu ” Langkah Tigo ” , ” Langkah Ampek ” , dan ” Langkah Sembilan “. Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu silat yang berbentuk lahiriyah saja, melainkan ilmu silat yang bersifat batiniyah pun diturunkan kepada murid-murid, agar mutu silat mempunyai bobot yang dikehendaki dan tambahan lagi setiap pengawal akan menjadi seorang yang sakti mendraguna, dan berwibawa.

Dalam Tambo dinyatakan juga, bahwa Ninik Datuk Suridiraja memiliki juga “kepandaian batiniyah yang disebut GAYUENG”. (I.Dt Sangguno Dirajo, 1919:22)

1. Gayueng Lahir , yaitu suatu ilmu silat untuk dipakai menyerang lawan dengan menggunakan empu jari kaki dengan tiga macam sasaran :

a. Di sekitar leher, yaitu jakun/halkum dan tenggorokan.
b. Di sekitar lipatan perut, yaitu hulu hati dan pusar.
c. Di sekitar selangkang, yaitu kemaluan

Ketiga sasaran empuk itu dinamakan sasaran ” Sajangka dua jari ” .

2. Gayueng angin, yakni menyerang lawan dengan menggunakan tenaga batin melalui cara bersalaman, jentikan atau senggolan telunjuk. sasarannya ialah jeroan yang terdiri atas rangkai jantung, rangkai hati, dan rangkai limpa.
Ilmu Gayueng yang dimiliki Ninik Datuk Suri Diraja yang disebut “Gayueng” dalam Tambo itu ialah Gyueng jenis yang kedua, yaitu gayueng angin. Kepandaian silat dengan gayueng angin itu tanpa menggunakan peralatan. Jika penggunaan tenaga batin itu dengan memakai peralatan, maka ada bermacam jenisnya, yaitu :

1. Juhueng, yang di Jawa disebut sebagai Teluh, dengan alat2 semacam paku dan jarum, pisau kecil dll.

2. Parmayo, benda2 pipih dari besi yang mudah dilayangkan.

3. Sewai, sejenis boneka yang ditikam berulangkali

4. Tinggam, seperti Sewai juga, tetapi alat tikamnya dibenamkan pada boneka

Kepandaian Silat menggunakan tenaga batin yang sudah disebutkan diatas, sampai sekarang masih disimpan oleh kalangan pesilat; terutama pesilat-pesilat tua. Ilmu tersebut disebut sebagai istilah ” PANARUHAN ” atau simpanan. Karena ilmu silat sebagai ilmu beladiri dan seni adalah ciptaan Ninik Datuk Suri Diraja, maka bila dipelajari harus menurut tata cara adat yang berlaku di medan persilatan. tata cara adat yang berlaku itu disebutkan dalam pepatah Minang : ” Syarat-syarat yang dipaturun-panaikan manuruik alue jo patuik” diberikan kepada Sang Guru.
PENYEBARAN SILAT MINANGKABAU

Dimasa itu terkenal empat angkatan barisan pertahanan dan keamanan di bawah pimpinan Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Hutan, dan Anjieng Mualim; ke empatnya merupakan murid-murid Ninik Datuk Suri Dirajo.

Sewaktu Datuk Nan Batigo membentuk Luhak Nan Tigo (1186 M ) dan membuka tanah Rantau (mula-mula didirikan Kerajaan Sungai Pagu 1245 M, ketika itu Raja Alam Pagaruyung, ialah Rum Pitualo, cicit dari Putri Jamilah atau kemenakan cicit dari Datuk Ketumanggungan), maka para pemimpin rombongan yang pindah membawa penduduk, adalah anggota pilihan dari barisan pertahanan dan keamanan kerajaan.

1. Untuk rombongan ke Luhak Tanah Datar, pimpinan rombongan ialah anggota barisan Kucieng Siam.

2. Untuk rombongan ke Luhak Agam, dipimpin oleh barisan Harimau Campo.

3. Untuk rombongan ke Luhak Limapuluh-Payakumbuh, dipimpin oleh anggota barisan Kambieng Hutan.

4. Untuk rombongan ke Tanah Rantau dan Pesisir dipimpin oleh anggota barisan Anjieng Mualim.
Setiap angkatan/barisan atau pasukan telah memiliki ilmu silat yang dibawa dari Pariangan. Dengan ilmu silat yang dimiliki masing-masing angkatan, ditentukan fungsi dan tugas-tugasnya, pemberian dan penentuan fungsi/tugas oleh Sultan Sri Maharaja Diraja berdasarkan ketentuan yang telah diwariskan oleh nenek moyang di masa mendatangi Swarna Dwipa ini dahulunya.
Fungsi dan tugas yang dipikul masing-masing rombongan itu diperjelas sbb:

1. Barisan pengawal kerajaan , Anjieng Mualim berfungsi sebagai penjaga keamanan
2. Barisan Perusak, Kambieng Hutan berfungsi sebagai destroyer atau zeni
3. Barisan Pemburu, Harimau Campo berfungsi sebagai Jaguar atau pemburu
4. Barisan Penyelamat, Kucieng Siam berfungsi sebagai anti huru-hara.

1. Aliran Silat Kucieng Siam:

Sekarang nama Kucieng Siam menjadi lambang daerah Luhak Tanah Datar….

Bentuk dan sifat silat negeri asal Kucin Cina-Siam :
peranan kaki (tendangan) menjadi ciri khasnya. Tangan berfungsi megalihkan perhatian lawan serta memperlemah daya tahan lawan.

2. Aliran Silat Harimau Campo:

Lambang Harimau Campo diberikan kepada Luhak Agam.

Bentuk dan sifat gerakannya:
ialah menyerupai seperti sifat harimau, keras, menyerang tanpa kesabaran alias langsung menerkam. mengandalkan kekuatannya pada tangan.

3. Aliran silat Kambieng Hutan :

Luhak Limapuluh-Payokumbuh mendapatkan lambang tersebut.

Bentuk dan sifat gerakannya:
banyak menampilkan gerak tipu, selain menggunakan tangan juga disertai dengan sundulan/dorongan menggunakan kepala dan kepitan kaki.

4. Aliran Silat Anjieng Mualim :

diberikan kepada Tanah Rantau-Pesisir adalah daerah-daerah di sekitar lembah-lembah sungai dan anak sungai dari pegunungan Bukit Barisan.

Bentuk dan sifat gerakannya:
a. bentuk penyerangan dengan membuat lingkaran
b. bentuk pertahanan dengan tetap berada dalam lingkaran.
bentuk-bentuk gerakan ini menimbulkan gerak-gerak yang menjurus kepada empat penjuru angin, sehingga dinamakan jurus atau “langkah Empat”.
dari sinilah permulaan Langkah Ampek dibentuk oleh Ninik Datuk Suri Diraja.

jadi silat Minang mempunyai dua macam persilatan yang menjadi inti yang khas:

Langkah Tigo ( Kucieng Siam ) dan Langkah Ampek ( Anjieng Mualim ).

kemudian selanjutnya langkah tersebut berkembang menjadi Langkah Sembilan.
Langkah Sembilan selanjutnya tidak lagi disebut sebagai SILAT, namun sudah berubah dengan nama PENCAK (Mencak)
SILAT LANGKAH TIGO

Silat Langkah Tigo ( langkah tiga ) pada asalnya milik Kucieng Siam, Harimau Campo, dan Kambieng Hutan; yang secara geografis berasal dari daratan Asia Tenggara. Akan tetapi setelah berada di Minangkabau disesuaikan dengan kepribadian yang diwarnai pandangan hidup, yaitu agama Islam.

Di masa itu agama Islam belum lagi secara murni di amalkan, karena pengaruh kepercayaan lama dan pelbagai filsafat yang dianut belum terkikis habis dalam diri mereka.

Namun dalam ilmu silat pusaka yang berbentuk Langkah Tigo dan juga dinamakan Silek Tuo, mulai disempurnakan dengan mengisikan pengkajian faham dari berbagai aliran Islam.

Memperturunkan ilmu silat tidak boleh sembarangan. Faham Al Hulul / Wihdatul Wujud memegang peranan, terutama dalam pengisian kebatinan ( silat batin ). Tarekat ( metode ) pendidikan Al Hallaj yang diwarnai unsur-unsur filsafat pythagoras yang bersifat mistik menjadi pegangan bagi guru-guru silat untuk tidak mau menurunkan ilmu silat kepada sembarangan orang.

Angka 3 sebagai “hakikat” menjadi rahasia dan harus disimpan. Untuk menjamin kerahasiaannya, maka ilmu silat tidak pernah dibukukan. Dalam pengalaman dan penelitian yang dilakukan kenyataan menunjukkan, bahwa amanat ” suatu pengkajian yang bersifat rahasia ” itu sampai kini masih berlaku bagi orang tua-tua Minangkabau.

kalau sekarang, rahasia itu dinyatakan dalam berbagai dalih, misalnya :

a. akan menimbulkan pertentangan nantinya dengan ajaran yang dianut oleh masyarakat awam.

b. akan mendatangkan bahaya sebagai akibat ” Tasaluek dek kaji ” , seperti: gila.

c. dan sebagainya.

Dalam hubungan ini penulis sendiri ( yakni bpk Mid.Jamal ) , kurang sependapat dengan alasan orang tua-tua yang kita mulyakan itu, mengingat kian langkanya pusaka budaya itu. Masalah adanya perbedaan kaji dengan masyarakat awam bukanlah alasan yang rumit.
semata-mata untuk kepentingan ilmu juga maka dalam tulisan ini mencoba bukakan sekelumit rahasia budaya pusaka dari nenek moyang kita, agar jangan sampai punah secara total.

Langkah Tigo dalam silat Minang, didalamnya terdapat gerak-gerak yang sempurna untuk menghadapi segala kemungkinan yang dilakukan lawan. Perhitungan angka tiga disejalankan dengan wirid dan latihan, inipun tidak semua orang dapat memahami dan mengamalkannya karena mistik.

Kaifiat atau pelaksanaannya dilakukan secara konsentrasi sewaktu membuat langkah tigo. setiap langkah ditekankan pada ” Alif, Dal, Mim “

Tagak Alif, Pitunggue Adam, Langkah Muhammad
Tagak Alif :
Tegak Allah, Kuda-kuda bagi Adam, Kelit dari Muhammad, Tangkapan oleh Ali, dan tendangan beserta Malaikat. ( sandi kunci bergerak )

SILAT LANGKAH AMPEK

Pembentukan Silat Langkah Ampek oleh Ninik Datuk Suri Diraja di Pariangan serentak dengan Silat Langkah Tigo. Silat Langkah Ampek, berasal dari gerak-gerak silat Anjieng Mualim dan pengawasannya turun temurun juga diserahkan pada Harimau Campo, yang dapat menjelma bila disalahi membawakannya.

Oleh karena si penciptanya telah menyeragamkan bentuk dan metode serta pengisiannya. maka silat Langkah Ampek pun dimulai dengan Tagak Alif. Perbedaannya terletak pada perhitungan angka yaitu 4, sebagai angka istimewa (ingat mistik Pythagoras). Walaupun bersifat mistik dan sukar dipahami bagi awam, namun bagi Pesilat sangat diyakini kebenarannya.

Sewaktu membuka Langkah Ampek dilakukan konsentrasi pada Alif, Lam, Lam, Hu.
Langkah Sembilan
Perhitungan langkah dalam Silat Minang yang terakhir adalah sembilan. Dari mana datangnya angka sembilan. Dalam pengkajian silat dinyatakan sebagai berikut: Langkah 3 + Langkah 4 = langkah 7. Itu baru perhitungan batang atau tonggaknya. Penambahan 2 langkah adalah :

-Tagak Alif gantung dengan penekanan pada ” Illa Hu ” ini diartikan satu langkah.

-Mim Tasydid dalam kesatuan Allah dan Muhammad, gerak batin yang menentukan, berarti satu langkah.

Menurut faham Al Hulul bahwa apabila yang Hakikat menyatakan dirinya atau memancarkan sinarnya dalam realitasNya yang penuh; itulah keindahan.

Pesilat itu adalah seniman dan seorang seniman adalah orang yang tajam dan tilik pandangannya, yang dapat melihat keindahan Ilahi dalam dirinya. (Gazalba,IV/1973:527)

Silat Langkah sembilan biasanya dibawakan sebagai “Pencak” (Minangkabau: Mencak), artinya : Menari. Dalam kata majemuk “Pencak-Silat” dimaksudkan “Tari Silat”.

Langkah Sembilan memperlihatkan pengembangan gerak-gerak ritmis, dengan tidak meninggalkan unsur-unsur gerak silat.

KATA PENGANTAR

Buku “Silsilah Alira-Aliran Silat Minangkabau” ini diterbitkan bersumber dari rangkuman pengalaman penulis secara langsung dalam bidang persilatan tradisional Minangkabau, yang dicampungi semenjak berumur lebih kurang 13 tahun sampai umur 51 tahun; berikut dengan ilmu-ilmu penunjangnya, seperti pengajian dan wirid-wirid yang dipersiapkan untuk ke lapangan/SASARAN SILAT. Disamping itu berupa hasil-hasil penelitian di beberapa daerah Sumatera Barat sejak tahun 1972 sampai tahun 1982, yaitu di :

Kabupaten Padang-Pariaman, Pesisir Selatan, Pasaman, Sawahlunto/Sijunjung, Solok, Limapuluh Kota, Agam, dan Tanah Datar. ke daerah-daerah luar Propinsi Sumatera Barat, seperti Kabupaten Kerinci (Jambi), dan Kabupaten Serang Banten (Ujungkulon Jawa Barat).

Daftar kepustakaan yang dipergunakan untuk melengkapi bahan-bahan perbandingan dan penunjang pengalaman dan penelitian dimaksud, agar terlukis kupasan yang dapat meyakinkan para ilmuwan terhadap kebudayaan yang masih dimiliki suku Minangkabau sampai hari ini.

Dibukanya pengalaman dan hasil penelitian ini terdorong oleh keadaan yang sangat menyedihkan tentang Ilmu Silat Minangkabau, karena kian hari orang tua-tua pendukung karya nenek moyang semakin tiada di permukaan bumi ini dan bertambah langkanya sumber-sumber yang patut disauk kepandaian ilmunya.

dst….

Maka buku ini diharapkan untuk dipergunakan sebagai bahan-bahan pertimbangan dan pemupukan peninggalan-peninggalan Ilmu atau Seni Silat Tradisonal Daerah Minangkabau yang telah langka itu. Mudah-mudahan secara positif generasi penerus tidak akan jemu-jemu mencintai hasil budaya yang masih berserakan di persada Ibu Pertiwi, dan tidak terpesona dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain

Padang Panjang, 10 Nopember 1985

Drs. MID. Jamal.

Tentang Penulis
Drs. Mid Jamal, dilahirkan di Padang pada tanggal 1 September 1933.
Banyak menulis hasil-hasil penelitian tentang seni tari, terutama dalam bidang Pencak Silat, Tari Pasambahan, dan juga tulisan-tulisan yang bersifat ilmiah yang tidak tersiar (dalam pemakaian/koleksi sendiri).

Pertama kali menulis karangan yang tersiar sebagai hasil pengalamannya dan rangkuman penelitian tentang adat istiadat dan Tambo Minangkabau.

Diantara karyanya yang spektakuler ialah buku dengan judul “Filsafat dan Silsilah Aliran-aliran Silat Minangkabau”. Merupakan karya penggalian tentang kebenaran mitos yang selama ini terbenam dalam lumpur mitologi. Namun bagi beliau, menganggap mitologi ialah ilmu yang dimiliki bangsa Timur umumnya dan Indonesia khususnya, ialah bukan suatu dongeng tanpa alasan.

Akan tetapi itulah kebenaran yang sukar dianalisis bagi mereka yang awam dalam bidang ilmu tersebut. Alasan-alasan yang diberikan akan menarik bagi pembaca dan semoga bisa dijadikan bahan perbandingan bagi Ilmu Seni Beladiri.

Beliau pada tahun 1968 mendapatkan gelar Sarjana dalm Ilmu Publisistik Universitas Ibnu Khaldoun dan lulus ujian Gradual Universitas Indonesia di Jakarta tahun 1969.

Dalam bidang pendidikan telah memiliki Akta Mengajar V , dari Ditjen DiktiDepdikbud tahun 1983.

Salawat Dulang di Lubuak Aro, Tandikek




Selawat Dulang

oleh : NasrulAzwar

Diterbitkan di: September 01, 2007
Tandikek
merupakan kenagarian yang terletak di ujung utara Kabupaten Pariaman
atau lebih tepatnya di Kecamatan Patamuan. Selain Kenagarian Tandikek,
di Kecamatan Patamuan terdapat Kenagarian lain yaitu Kenagarian Sungai
Durian yang terlelatak sebelah selatan Tandikek. Secara geografis,
Tandikek sebelah utara berbatas dengan Kabupaten Agam dan Gunung
Tandikek, sebelah barat berbatas dengan Kecamatan V Koto, sebelah
selatan berbatas dengan Kenagairan Sungai Durian dam Kecamaatan Padang
Sago, dan sebelah timur berbatas dengan Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung
dan Bukit Barisan.
Sistem perekonomian dan mata pencaharian masyarakat Tandikek ditentukan
oleh keadaan alam yang melingkupinya. Sektor pertaninan dan perkebunan
mendominasi terutama padi sawah. Hal itu dapat dilihat pada luasnya
areal tanaman padi dibanding dengan areal tanaman lainnya. Namun,
sektor perkebunan tidak kalah penting. Hasil perkebunan terutama
durian, manggis, kulit manis (cassiavera), dan kelapa. Perkebunan
terutama ditemukan di perbukitan, lereng Gunung Tandikek dan kaki
Gunung Singgalang. Perkebunan kelapa lebih banyak terdapat di daerah
yang lebih rendah.
Sebagai daerah yang terletak di perbatasan, Tandikek memiliki kebudayaan yang spesifik. Pengaruh darek
(daerah asal Minangkabau yaitu Tanah Data, Agam, dan Limo Puluah Koto)
sangat terasa bila dibanding dengan daerah rantau lainnya. Dalam
pembagian daearah di Minangkabau, Tandikek termasuk ke dalam wilayah
rantau. Oleh sebab itu Tandikek biasa disebut dengan daerah ikue darek kapalo rantau (ekor darek kepala rantau) yang artinya serba di ujung, tidak sepenuhnya menjalankan adat darek atau rantau

dicopy dari id.shvoong.com

Saluang

Kesenian Tradisional Minangkabau

saluang.jpg




Orang Minangkabau memiliki tradisi seni pertunjukan yang termasuk paling kaya ragamnya di Indonesia. Acara-acara atau kegiatan-kegiatan yang lazim dilengkapi dengan seni pertunjukan adalah pesta keluarga (seperti perkawinan, khitanan, membuka rumah baru, menobatkan kutua adat baru) serta perayaan-perayaan rakyat (seperti saat panen, meresmikan mesjid, perayaan hari besar agama). Acara-acara tersebut seringkali diawali dengan pawai keliling disiang hari yang biasanya melibatkan pemain-pemain talempong (suatu ensambel gong-gong kecil) dan gendang. Untuk acara keagamaan, musik arak-arakan ini dapat diganti dengan nyanyian keagamaan dengan diiringi rebana.Pertunjukan utama biasanya dimulai malam hari dan dapat berlangsung hingga subuh.

Diantara bentuk kesenian yang ada, yang paling ramai dan mahal adalah randai, suatu bentuk teater yang dibawakan diluar rumah dengan melibatkan sekitar 20 sampai 30 pemain. Randai menggabungkan unsur tarian, musik instrumental, nyanyian lepas, nyanyian naratif, dengan adegan-adegan yang dilakonkan dan dialog-dialog lisan.

Selain itu ada bentuk kesenian lain yang sederhana yang diselenggarakan dalam rumah dengan hanya melibatkan satu atau dua orang penyanyi dan satu atau dua alat musik pengiring. Diantara bentuk kesenian tersebut, ada yang membawakan suatu kisah yang dinyanyikan secara naratif (seperti Dendang Pauah, Sijobang), ada yang dimulai denfan beberapa lagu lepas (non-naratif) tetapi kemudian berubah sifat menjadi kisah yang dinyanyikan (seperti Rabab Pariaman, Rabab Pasisia), serta saluang; bentuk kesenian yang tidak membawakan cerita sama sekali dan hanya terdiri dari lagu-lagu lepas. Cerita-cerita itu-yang sudah sering diketahui oleh pendengarnya-tidak disajikan sebagai hafalan, melainkan diceritakan secara spontan. Unsur spontanitas juga terdapat dalam syair-syair untuk lagu-lagu lepasnya.

Pada umumnya suatu pertunjukan dimulai agak malam, kemungkinan setelah suatu pertunjukan pengantar-musik pop, atau tarian minang yang diringi talempong- dituntaskan. Pada tahap awal pertunjukan seperti pertunjukan saluang, Rabab Pariaman, suasana biasanya ringan, dan sering syair lagunya mengenai percintaan, yang kadang secara sugestif. Tetapi semakin jauh malam menjadi lebih bersuasana nostalgia, melankonis, dan sekaligus memilukan.

Dengan jumlah pemain yang sangat terbatas, bentuk kesenian ini bersuara pelan dan bersifat akrab-cocok untuk tengah malam. Dari pendengarnya dituntut perhatian penuh, tetapi tidak selalu diperoleh: para penonton malah ngobrol, merokok, makan, main kartu dan domino; pada muda-mudi mencuri kesempatan bercumbu rayu. Kalau sudah sampai jam satu atau dua pagi, banyak penonton telah pulang, dan dari yang masih tinggal kebanyakan tertidur. Tetapi beberapa diantaranya masih bertahan duduk dekat dengan para pemain, menyimak syair-syairnya dengan tekun, sambil berdecak kagum pada suatu kalimat yang tepat, menuggu babak-babak cerita selanjutnya.

Untuk dapat merasakan apa daya tarik bentuk kesenian tersebut kepada penontonnya, kita mungkin dapat membayangkan ada seorang aktor professional yang sedang duduk diruang tamu kita, yang selama berjam-jam membawakan suatu cerita atau syair-syair, dengan meyertakan didalam ceritanya nama, tempat, orang-orang dan keadaan sehari-hari kehidupan kita sendiri.

Pada edisi pertama ini, kami menyajikan salah satu diantaranya yakni kesenian Saluang.

Nama Saluang diambil dari nama seruling panjang yang acapkali menjadi satu-satunya alat pengiring yang digunakan pada seni pertunjukan ini. Bentuk kesenian ini (yang kadang-kadang disebut juga Saluang jo Dendang-saluang disertai nyayian) sangat populer didaerah darek dan dikalangan orang-orang darek di perantauan. Kesenian ini selain ditampilkan pada acara perayaan kampung dan acara keluarga, juga sering ditampilkan pada sejenis acara pengumpulan dana malam bagurau.

Saluang itu sendiri adalah sebuah pipa bambu terbuka, panjangnya sekitar 65 cm dengan diameter dalam sekitar 2,5 cm, dengan 4 lobang jari. Pemain, biasanya laki-laki, memegang saluang miring ke bawah dan ke satu sisi. Untuk menghasilkan aliran suara yang tak terputus, pemain tersebut menggunakan teknik nafas “circular breathing” supaya suara tidak berhenti sewaktu pemain menarik nafas.

Sulit menjelaskan sistem laras yang diterapkan pada musik saluang. Beberapa tangga nada dipakai dalam repertoar; intonasi sering tidak stabil; dan tidak ada sistem pelarasan yang mutlak. Untuk saluang dengan nada dasar C=do, kita boleh menganggap tangga nada pokok yang dimainkan sebagai nada do, re, mi, fa, sol. Tapi dalam kenyataannya nada do kadang-kadang cenderung menuju di (1) . Gegitu pula halnya untuk nada-nada lainnya yang diperoleh dengan menutup separoh dari lubang jari. Ada kalanya pemain saluang memainkan nada-nada yang berada diatas dan dibawah nada pokok.

Melodi saluang berbentuk ulangan meskipun syair-syair yang dinyanyikan berubah-ubah. Dalam pertunjukan, pemain saluang selalu didampingi oleh seorang penyanyi (pendendang), yang membawakan pantun. Satu pantun biasanya selesai dalam satu ulangan melodi. Seringkali ada dua atau tiga penyanyi yang tampil:mereka biasanya menyanyi secara bergantian diiringi saluang.

Lagu-lagu saluang digolongkan berdasarkan suasana atau emosi. Sebagian besar masuk ke golonga lagu sedih, dan banyak diantaranya diistilahkan dengan ratok, “ratapan”. Satu sub-kategori dari lagu-lagu sedih dikira berasal dari daerah sekitar Gunung Singgalang; lagu-lagu ini, yang semua judulnya diawali dengan kata Singgalang, mempunyai ciri khas pada saluang, yaitu semacam getaran (oscillation) antara dua nada yang berdekatan. Lagu-lagu sedih selalu nonmetris (tanpa mad). Sebaliknya, dua golongan lagu lainnya-gembira dan ‘setengah gembira’- selau metris.

Selain penggolongan menurut suasana, ada juga pengelompokan yang berdasarkan nada pokok (nada yang memulai setiap perulangan) seperti “tertutup” yakni dengan menutup semua lubang jari, “tutup tiga” yakni dengan membuka lubang terjauh dari mulut pemain, serta “tutup dua” dan “tutup satu”. Kebanyakan lagu dari daerah pantai Sumatera barat (pasisia) tergolong “tertutup”, sedangkan kebanyakan ratok tergolong “tutup tiga”. Untuk lagu-lagu dari daerah Danau Maninjau tergolong pada “tutup dua”, sedangkanlagu-lagu yang diambil dari kesenian Sijobang biasanya tergolong pada “tutup satu”.

Judul-judul lagu saluang yang banyak dikenal dimasyarakat antara lain :

Padang Magek

Ratok koto Tuo

Ratok Solok

Muaro Labuah

Pariaman Lamo

Lubuak Sao

Ambun Pagi

Berikut ini kami berikan syair beberapa lagu saluang :

Padang Magek

Lah Masak padi Padang Magek

Lah dituai anak lah tuan oi ondeh lah mudo-mudo

Kasiah sayang minta dijawek

Lah ko lai didalam lah tuan oi ndeh lah hati juo

Lah Masak padi Padang Magek

Lah manguniang ndeh lah tuan oi lah daun tuonyo

Tuang Tagamang lai bajawek Denai tagamang lah tuan ai yo ondeh lah jatuah sajo

Kalam bakabuik Bukik Kaluang

Tampak nan dari lah tuan oi ndeh lah Kampuang Lambah

Bapasan denai ka nan kanduang

Janji nan dulu lah tuan oi ondeh lah jan diubah

Kaparak batuang den sandakan

Kajalan urang lah tuan oi ondeh lah taniayo

Ka tuan untuang disandakan

Lah indak nan kontan lah tuan oi ondeh lah surang juo

Ratok Solok

Nan singkarak jo Paniggahan

O nan ka pasa ka Sumani

Ka pasa ka Sumani

Ulah dek rono tarang bulan

Palito nyala dipadami

Palito nyala dipadami

O nan kok ado janjang ka langik

Bialah dunia den tinggakan

Iduik nan banyak sansaronyo

Apo ka tenggang tukang jaik

Kok lai balabiah pangguntiangan

Siso dibaok rang nan punyo

Gadang-gadang kayu di rimbo

Sikaduduak da(h)nguang-mandanguang

Sikaduduak danguang-mandanguang

Kadang-kadang hati kok ibo

Dima duduak si(h)nan bamanuang

Dima duduak sinan bamanuang

dicopy dari palantaminang.wordpress.com

Rabab Tolong Sampaikan

Seorang paruh baya memainkan rabab menyampaikan rasa gundahnya di depan sebuah rumah makan

Babunyi rabab yo tuan di tangah hari
Digesek anak si urang lintau
Iyo basabab denai banyanyi
Yo dek taragak dari urang rantau

Rabab, adalah sebuah instrumen musik tradisional minangkabau. Alat musik ini dimainkan dengan cara digesek. Rabab biasanya dimainkan di malam hari di tengah keheningan malam untuk mencapai rasa gundah gulana yang ada di dalam diri pemain. Bisa juga dalam menyampaikan kaba (cerita rakyat). Biasanya pesan para pemain rabab sungguh menyayat hati para pendengarnya.

Apakah rabab mampu menyampaikan rasa sedih meninggalkan handai taulan di ranah. Apakah rabab mengerti perasaan sang pemainnya. Memang sekarang rabab terlihat kuno di generasi muda kita khususnya di generasi muda Minang. Tapi ketika saya mencoba mendengar sedikit bunyinya beberapa waktu yang lalu saya merinding. Ibarat magis yang dapat menghipnotis bila dimainkan dengan sepenuh jiwa.

Entah kenapa sehari sebelum keberangkatan saya balik ke Bandung ada perasaan malas, bahkan perasaan itu tidak sedikit, cukup menyesakkan. Ingin rasanya tidak balik-balik dan menghabiskan waktu diranah selalu. Tapi apa daya demi cita-cita. Demi masa depan yang lebih baik. Juga untuk membahagiakan kedua ibu-bapak tentunya.

Sebelum kuliah saya lewat di depan kampus, eneg banget ngeliaht tuh kampus. Membayangkan hal-hal yang bakal dilalui di minggu-minggu ini. UTS menanti dengan kuis-kuis juga tentunya. Sekarang saya sudah kembali lagi ke rutinitas. Kali ini saya merasa lebih sedih meninggalkan ranah daripada biasanya. Ada apa dengan ranah kali ini? Mungkin kali ini saya menemukan bahwa sesuatu yang beda disana. Tapi kali ini saya hanya menyampaikan rasa sedih saya itu dengan rabab. Bukan dengan memainkannya. Tapi mendengar lagunya yang cukup mengobati hati.

Rabab tolong sampaikan

di copy dari rangmudo.com